Azab dan sengsara download


















In the colonial era, the Dutch introduced commercial cash crops, such as coffee, sawit palm oil, throughout the history of modern Indonesia, the Batak community has been a significant contributor. There is often a continuum of coercion used to compel a marriage, Forced marriage is still practised in various cultures across the world, particularly in parts of South Asia and Africa.

Your awareness can give you a chance to reach before light reach. Balai Pustaka under the Dutch colonial government was criticised for its language policy, the forced use of formal Malay has been called language politics. Indonesian Literature can refer to literature produced in the Indonesian archipelago and it is also used to refer more broadly to literature produced in areas with common language roots based on the Malay language.

The Deli Railway was established for shipping rubber, tea, timber, palm oil, and sugar industries from the city to Belawan, following the establishment of the Republic of Indonesia, Medan became the capital of North Sumatra in mid Dukun — A dukun is an Indonesian-Malay term for shaman. This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website.

Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are as essential for the working of basic functionalities of the website.

We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience. Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website.

Akan tetapi apakah sebabnya mereka itu tiada bersenang hati? Perkawinan mereka itu terikat dengan kecintaan yang bersih dan teguh, apalagi ada juga pertaliannya, yaitu mereka itu orang berkaum juga. Si laki mengasihi istrinya sejak dari mula gadisnya sampai ia sudah kawin, dan sampai pada waktu sekarang. Bagaimana pula ia tiada mencintai istrinya itu, karena perempuan itu amat baik budinya, dan barang tingkahlakunya pun adalah setuju dengan si suami.

Romannya yang sederhana dan tabiatnya yang lemah-lembut itu, cukuplah sudah kekuatannya akan mengikat hati suaminya, akan menarik pikiran si laki kepada istrinya. Amatlah pandainya ia menghiburkan hati suaminya, bila dalam kedukaan, dan dalam segala kesusahan ia menolong suaminya, dengan akal dan bicara, karena ia tahu benar, bahwa seharusnyalah perempuan itu menyenangkan suaminya.

Ia patut tertawa, kalau si laki marah, supaya kening yang berkerut menjadi licin; oleh sebab senyum simpul si perempuan yang manis itu dan perkataannya yang lemah-lembut, itu pun hati si laki yang panas itu menjadi dingin dan tawar. Bila perempuan mempunyai tabiat yang serupa itu, dapatlah ia me- merintahkan suaminya, boleh dikatakan suaminya itu ada di bawah kuasa jari kelingkingnya. Dua tahun mereka itu bergaul, maka si istri pun melahirkan buah perkawinan mereka itu, yakni seorang anak laki-laki, itulah dia Aminu'ddin.

Tali perhubungan antara kedua laki-istri pun makin kuat, sehingga seorang mencintai yang lain sebagai dirinya sendiri. Kalau si ibu menyusukan buah hatinya itu di atas tempat tidur, si bapak pun tiada dapat menahan sukacitanya. Ia memeluk istrinya, seraya berkata, "Ah, sungguh saya merasa beruntung karena anak kita ini sebagai matahari yang menyinari perkawinan kita dengan cahaya kegirangan. Bukankah benar perkataanku itu, Anggi?

Betapa pula lagi besarnya kegirangan hati si ibu, yang menanggung rupa-rupa penanggungan, waktu melahirkan anaknya, yang menjadi buah hati dan tangkai kalbunya? Cahaya mata si ibu yang cemerlang itu menembus hati si laki; cahaya mata itu memancar dan masuk ke hatinya, masuk ke jantungnya, sehingga api hasrat dan kasihnya akan istrinya itu bernyala-nyala.

Ia mendekap dan memeluk istrinya; sekali ini lebih kuat, sambil tangan- nya gemetar sedikit. Tiadakah engkau sabar lagi? Tunggu sebentar ia tertidur, biar dahulu ia kuletakkan," sahut si ibu, seraya menidurkan buah hatinya itu. Setelah Aminu'ddin berumur delapan tahun, maka ia pun disuruh oleh orang tuanya bersekolah. Dalam kelasnya, ialah anak yang termuda sekali, kebanyakan sudah berumur sembilan atau sepuluh tahun, karena pada masa itu orang tua tiada suka menyuruh anaknya yang masih kecil ke sekolah, lainlah halnya dengan sekarang.

Meskipun ia yang terlebih kecil di antara kawan-kawannya, akan tetapi ia amat rajin belajar, baik di sekolah atau di rumah, sehingga gurunya amat menyayangi dia. Bila gurunya berkata-kata atau me- nerangkan sesuatu apa, matanya tiada lepas dari muka guru itu.

Segala keterangan guru itu ditangkapnya dengan daun telinganya, serta di- perhatikannya benar-benar, bolehlah dikatakan, sepatah kata pun tiada yang tak dikenalnya. Jadi tiadalah heran lagi, kalau ia menjadi murid kesayangan gurunya.

Dari kelas satu sampai kelas tiga, ia masuk anak yang terpandai di kelasnya. Meskipun demikian tiadalah pernah ia me- nyombongkan diri, sebagai tabiat yang nampak pada kebanyakan orang muda-muda. Hatinya rendah dan menilik segala cakap dan lakunya, nampak benar-benar, bahwa ia tiada mempunyai hati yang meninggi.

Ia disukai oleh kawan-kawannya, seorang pun tiada yang menaruh cemburu kepadanya, lagi pula tak ada jalan bagi temannya akan mem- bencinya. Di luar dan di dalam sekolah ia selalu menolong mereka, asal dapat olehnya. Ia dimarahi sekali-sekali oleh gurunya, kadang-kadang sampai mendapat hukuman, tetapi bukanlah karena nakal atau jahatnya, hanyalah karena menolong temannya, waktu berhitung.

Sudah tentu guru gusar oleh karena itu, dan Aminu'ddin menahan juga dalam hatinya, akan tetapi kadang-kadang ia tiada dapat menahan hati dan nafsunya, yakni nafsu yang selalu hendak memberi pertolongan kepada kawannya.

Semuanya itu dapat dilihat pada matanya yang tajam, yang terletak di bawah bulu kening yang hitam, melengkung sebagai busur terpasang.

Waktu ia duduk di kelas tiga, genaplah usianya sepuluh tahun. Lepas dari sekolah, ia pun membantu bapaknya bekerja di sawah atau di kebun. Jaranglah ia diam atau bermain-main saja, karena ia dapat juga mencari pekerjaannya dan bapaknya pun membiasakan dia sebagai orang tani yang patut.

Si ibu yang melihat kelakuan suaminya kepada anaknya, acap kali berkata, "Janganlah kakanda terlalu keras kepada anak kita itu!

Umurnya belum berapa dan tulangnya belum kuat, tetapi kakanda selalu menyuruh dia bekerja. Jangan kakanda samakan kekuatannya dengan kekuatan kakanda. Bukan adinda melarang dia bekerja, akan tetapi jangan terlampau keras; selagi ia kecil, jangan ia dipaksa; dia dibawa ke sawah, hanya sekadar membiasakan saja, supaya tahu ia berusaha di belakang hari.

Bukankah baik itu, anak mencontoh tabiat bapaknya? Masakan kakanda tiada menjaga Aminu'ddin, buah hati dan cahaya mata kakanda itu," sahut si suami dengan suara melembutkan hati istrinya.

Percakapan yang serupa itu biasa terjadi waktu malam, sesudah Aminu'ddin tidur dalam kamarnya, pada sebelah kanan serambi muka, di muka kamar tidur orang tuanya.

Sehari ini kakanda tak ada melihatnya. Hari ini ia libur sekolah karena hari besar. Karena itu ia pergi tadi pagi ke Sipirok. Petang inilah baru ia pulang. Tentu ia sudah letih," kata istrinya. Apakah maknanya itu? Tak ada Bukankah mereka itu kaum kita juga? Adinda amat setuju dan memuji perbuatan anak kita itu. Sungguhpun ia muda, tetapi telah tua pikirannya, ia telah mempunyai perasaan kepada mereka yang dalam kemiskinan itu.

Tiadalah sebagai kakanda! Bukankah mendiang Sutan Baringin saudara kandungku, ipar kandung kakanda dan mamak Aminu'ddin? Apakah sebabnya kakanda tidak melihat-lihat sawah mereka itu, sejak sepeninggal saudaraku?

Tiadakah kakanda menaruh perasaan iba? Udin mempunyai kasihan, itulah sebabnya ia menolong mamaknya. Melihat-lihat sawah mereka itu, artinya menolong mereka itu mengerjakan sawah, karena kalau sawah mereka itu tiada dicangkul dan ditanami, apalah yang akan dimakan mereka itu bertiga beranak? Sekarang orang sudah hampir menanam padi, akan tetapi sawah mereka belum habis dicangkul. Tiadakah kakanda menaruh kasihan kepada anak dan istri saudaraku itu?

Suaminya termenung, ia teringat hal iparnya, Sutan Baringin, pada waktu hidupnya. Sutan Baringin seorang yang terbilang hartawan lagi bangsawan seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia sangat suka beperkara, maka harta yang banyak itu habis, sawah dan kerbau terjual, akan penutup ongkos-ongkos perkara, akhir-akhirnya Seorang asisten residen yang sudah lama memerintah di Padangsidempuan, ibu negeri Sipirok, berkata di hadapan orang banyak, "Kalau ada perselisihan kamu di kampung tentang sawah atau harta benda peninggalan orang tuamu atau hal yang lain, lebih baiklah kamu putuskan saja perselisihan itu dengan jalan damai.

Sekali-kali jangan terburu-buru membawa perselisihan itu ke hadapan pengadilan, supaya jangan menjadi perkara. Jangan, jangan, nanti kamu menyesal di belakang hari. Ingatlah nasihatku ini! Siapa yang menang perkara menjadi bara, dan yang kalah menjadi abu. Kalah di sana, minta banding lagi ke pengadilan tinggi di Jakarta. Itu semua karena ia mendengar hasutan orang yang hendak mencelakakan dia, karena orang itu hendak mencari upah daripadanya.

Upah menulis surat, upah mengarang rekes, upah ini, upah itu, karena orang itu manusia yang Di negeri kecil orang menamai mereka itu pokrol bambu. Lagak dan cakapnya sebagai orang yang pandai, yang ahli dalam ilmu hakim, akan tetapi pengetahuannya tiada suatu apa, ibarat gendang, kalau dipalu, keras suaranya, dibelah, tak ada isinya. Kemalanganlah yang menimpa barang siapa yang pcrcaya kepada orang yang macam itu. Kalau ada perselisihan, selesaikanlah dengan jalan damai, panggil orang tua-tua sekampung, mereka itu nanti memutuskannya dengan baik.

Kerugian tiada berapa, pikiran tiada susah dan kita kembali hidup damai. Inilah untung yang teramat besar di dunia dan akhirat. Perhatikanlah, hai saudara-saudaraku! Sutan Baringin menutup telinganya, tiada hendak mendengarkan kata istrinya, meskipun beberapa kali perempuan yang baik itu mengingatkan suaminya.

Segala bujuk dan nasihat, yang diucapkan istrinya, sia-sia saja, sebagai batu jatuh ke lubuk. Si suami menurut nasihat pokrol bambu juga. Istri yang baik itu tiada putus as-a. Ia mengumpulkan kaum ke- luarganya; Ayah Aminu'ddin, kepala kampung A, pun turutlah. Maksud ibu yang mulia itu: perkataannya sendiri ditolak suaminya; kalau semua kaumnya bersama-sama memberi petuah yang baik, barangkali suaminya ada segan melaluinya.

Akan tetapi apakah kesudahannya? Sekalian ikhtiar istrinya itu sia- sia. Suaminya tinggal menegangkan urat lehernya. Pengajaran setan manusia yang berlidah petah itu sudah masuk benar ke hatinya, dan matanya pun tak melihat lagi, bagaimana kesudahan perbuatannya itu di belakang hari. Akan mengerasi dan memaksa suaminya itu tak berani perempuan yang berhati lemah-lembut itu, karena amatlah hormatnya kepada suaminya itu.

Memberi ingat suami pun tiada berani lagi ia, sejak Sutan Baringin membentak dia dengan perkataan, "Diam kau; perempuan tiada patut mencampuri perkara laki-laki; dapur sajalah bagianmu! Akan tetapi ia mengucapkan perkataan itu. Tiadakah kakanda menaruh kasihan kepada anak kita yang dua orang ini? Perempuan apakah engkau? Si ibu memandang anaknya yang menyusu di pangkuannya, sedang air matanya bercucuran ke atas kepala anak yang hendak tertidur itu.

Hatinya hancur sebagai kaca terempas ke batu, memikirkan nasib mereka itu di belakang hari. Siapakah lawan Sutan Baringin dalam perkara itu? Sebagaimana diceritakan di atas Sutan Baringin itu beripar dengan ayah Aminu'ddin, yang tinggalnya tiada berapa jauh dari Sipirok. Jalannya mereka itu bertali, yakni ibu Aminu'ddin adik kandung Sutan Baringin. Menurut adat orang di negeri itu Batak seharusnyalah bagi Aminu'ddin menyebut Mariamin adik anggi bahasa Batak dan perkawinan antara anak muda yang serupa itu amat disukai orang tua kedua belah pihak.

Barangkali perkawinan yang serupa itu, tiada biasa di tempat lain. Sutan Baringin ialah seorang yang berharta; sawah-sawahnya yang lebar itu mendatangkan keuntungan yang banyak kepadanya. Tiadalah ia payah dan susah membajak dan menanami tanahnya yang subur itu; habis tahun ia menerima untung yang bersih, yaitu sebagian dari padi hasil sawahnya, yang diusahakan orang lain; biasanya dua perlima bagian yang punya sawah.

Sejak orang tuanya meninggal dunia dan ia telah beristri, ia hidup dalam kesenangan, atau lebih baik dikatakan dalam kekayaan, karena tiada selamanya orang kaya bersenang hati. Anaknya dua orang; yang sulung perempuan berumur enam tahun, dan yang bungsu laki-laki yang masih menyusu. Anak perempuannya itu bernama Mariamin dan ringkasan namanya Riam.

Anak itu seorang anak yang elok parasnya. Akan tetapi kecantikan rupanya itu belumlah nampak dengan terangnya, karena ia masih kecil, ibarat bunga yang belum kembang. Tapi sungguhpun demikian, barang siapa yang melihat anak itu, tentu ia mengaku, kecantikan Mariamin bertambah lagi, dan romannya pun makin elok, yakni bila bunga yang kuncup itu sudah kembang dan sekalian bagian-bagiannya yang tertutup itu nampak dengan nyatanya, pendeknya bila anak gadis itu besar dan ia mencapai potongan badan- nya yang secukupnya.

Lihatlah warna kulitnya yang jernih dan bersih itu, putih kuning sebagai kulit langsat! Matanya yang berkilat-kilat serta dengan terang itu, menunjukkan kepada kita, bahwa anak itu mempunyai tabiat pengasih. Pada bibirnya yang tipis dan merah itu selamanya terbayang senyum yang manis. Jika ia berkata-kata atau ter- tawa-tawa, tampaklah giginya yang putih dan halus, berkilat--kilat sebagai mutiara.

Kalau diamat-amati roman anak dara itu, tampaklah di mata, air mukanya yang hening dan jernih, suci dan bersih, sebagai seri gunung waktu matahari akan terbenam adanya. Pendeknya makin lama mata memandang dia, makin heran hati melihat kecantikan parasnya, barangkali timbul lagi pikiran mengatakan, "Tak benarlah budak ini anak manusia, barangkali keturunan bidadari jua, yang menjelma ke dunia ini.

Meskipun ibu-bapaknya orang kampung saja, tahu jugalah mereka itu, bahwa anak-anak perempuan pun harus juga di sekolahkan.

Ia harus tahu membaca dan menulis, mengira dan ber- hitung, sebagaimana teman-temannya anak lakilaki. Bukan maksudnya supaya kepintarannya yang menyamai laki-laki, tetapi sepatutnyalah ia mempunyai badan yang segar dan pikiran yang tajam dan cerdas.

Akan memperoleh semua yang amat berguna itu, tentu anak-anak itu jangan dipaksa saja tinggal di rumah, akan tetapi haruslah ia diserahkan ke sekolah, akan belajar kepandaian yang berguna baginya pada hari kemudian akan membukakan pikirannya, supaya ia kelak menjadi ibu yang cakap dan pintar, lebih-lebih dalam hal memelihara rumah tangganya.

Tambahan pula sekolah itu bukan tempat mencari ilmu saja, tetapi adat lembaga dan kesopanan pun diajarkan juga kepada anak- anak, yang berfaedah baginya di hari besarnya. Bukankah anak-anak itu, manusia yang nanti menggantikan orang tuanya mendiami bumi ini? Mariamin anak yang cantik itu, duduk sekarang di kelas dua dan Aminu'ddin di kelas empat. Kalau murid-murid sudah ke luar, kedua budak itu sama-sama pulang ke rumahnya, yang kirakira sepal jauhnya dari rumah sekolah. Akan tetapi Aminu'ddin harus berjalan kaki lagi ke kampungnya, yaitu tengah dua pal jauhnya dari Sipirok.

Masing- masing menyukai temannya dan amatlah karibnya persahabatan kedua anak itu. Itu tiada mengherankan, karena seorang memandang yang lain sebagai dirinya, sebab mereka itu berkarib, yakni emak yang seorang bersaudara seibu-sebapak dengan ayah yang lain. Oleh sebab itu adalah perasaan mereka itu sebagai bersaudara kandung. Lagi pula bagaimana rapatnya orang berkaum, dapatlah dilihat di antara orang-orang kampung. Amatlah jauh perbedaannya dengan orang hidup di pesisir atau negeri ramai, yang hanya berkaum di mulut, sebagai biasa dikata- kan orang.

Lain daripada itu ada lagi tali lain yang mengikat hati kedua anak itu, yaitu: sifat dan tabiat mereka yang bersamaan. Seperti yang sudah diceritakan, Mariamin bertabiat pengiba, Aminu'ddin pun demikian juga, hanya saja tiada sama jangkanya. Mariamin seorang anak perempuan, sudah tentu lebih pengiba dari Aminu ddin, seorang anak laki-laki.

Karena menilik kebiasaannya adalah perempuan itu lebih halus perasaannya, sedang laki-laki itu lebih keras hatinya. Umpama- nya seorang perempuan tiada akan menolak suaminya, yang meminta ampun akan kesalahannya, meskipun bagaimana sekali besarnya dosa laki-laki itu kepada istrinya. Penanggungan perempuan yang sakit, aniaya suaminya yang bengis, dilupakannya, bila ia melihat suaminya meminta ampun di hadapannya.

Kadang-kadang dengan air mata yang berhamburan, sebab kesedihan hatinya bercampur dengan sukacitanya, karena kecintaan suaminya kepadanya telah hidup kembali, maka ia mendekap dan memeluk suaminya, seraya berkata, "Syukurlah.

Mudah- mudahan Allah mengampuni dosa kita. Kerap kali laki-laki itu menerjang kepala istrinya dengan kakinya yang basah oleh air mata itu, seraya berkata dengan mata yang merah, "Nyah engkau, perempuan celaka?

Oleh sebab itu Mariamin pun amatlah suka ber- campur dengan dia dan ia amat suka mendengar cerita-cerita Aminu'ddin, yang diceritakannya, bila mereka itu tengah berjalan pulang atau pergi ke sekolah atau ketika mereka itu bersama-sama di sawah, karena sawah orang tua mereka itu berwawasan.

Mariamin pun menghormati dan menyayangi dia dengan sebenar-benarnya. Kalau hari hujan tiadalah ia membiarkan Aminu'ddin pulang ke rumahnya; ia selalu berkata, "Singgahlah angkang dahulu, menantikan hujan ini teduh, lagi nasi pun sudah sedia untuk kita, karena mak tahu juga, angkang tak dapat pulang ke kampung dalam hujan begini. Akan tetapi angginya itu bukan anak yang mudah kalah bercakap. Dengan segera ia memegang tangan Aminu'ddin, seraya berkata, "Ah, tak baik begitu, nanti angkang sakit sebagai dahulu, karena ditimpa hujan, bukankah orang tua kita yang susah?

Saya kawani nanti pulang, kalau angkang tak suka berjalan sendiri. Percakapan mereka itu telah kedengaran oleh Sutan Baringin; sebab itulah ia ke luar mengajak kemanakannya itu masuk ke dalam dan Aminu'ddin sudah tentu segan melewati rumah mamaknya itu.

Demikianlah halnya, maka ia beberapa kali bercampur gaul dengan Mariamin. Dari sekolah, waktu pulang ke A, di sawah, di situlah mereka itu bersama-sama, tiada ubahnya sebagai orang yang kakak- beradik. Karena menilik umur pun adalah demikian rupanya, karena sekarang genaplah umur Mariamin delapan dan Aminu'ddin sebelas tahun.

Pada suatu petang, sedang mereka di sawah, Mariamin menyiangi padinya, supaya padi itu subur tumbuhnya, Aminu'ddin pun memanggil dari watas sawah mereka itu, "Riam, marilah kita pulang ke kampung, nanti kita dihambat hujan. Lagi pula matahari belum ruyup benar; tunggulah sebentar," kata Mariamin, lalu ia meneruskan pekerjaannya itu dengan rajinnya. Pekerjaan itu boleh disudahkan besok," sahut Aminu'ddin, seraya menghampiri tempat adiknya bekerja itu.

Baiklah kita pulang ke rumah, sebentar lagi hujan akan turun dengan lebatnya, lagi amat panasnya sehari ini, sehingga kepala- ku serasa dipanggang. Dan dengan suara yang ramah ia berkata pula, "Barangkali angkang bosan menunggu saya, eloklah angkang pergi duduk-duduk ke pondok itu! Akan tetapi sebab sahabatnya itu hendak menyudahkan pekerjaan juga, terpaksalah ia menurutkan kesukaan Mariamin itu. Ia pun berkata seraya meng- hampiri anak perempuan itu, "Sebenarnya saya sudah letih, Riam, tengoklah beratnya pekerjaan itu, tetapi Dengan rajinnya ia terus menyiangi sawah itu bersaina-sama dengan adiknya itu.

Sejurus panjang lamanya maka ia pun berkata, "Riam, rupanya kau memandang laki-laki itu manusia yang tinggi dari perempuan? Lainlah halnya dengan kami perempuan. Perempuan harus tinggal di rumah, tiada boleh acap kali ke luar-luar, kalau badan sudah besar.

Mariamin berdiam, karena hatinya kepada pekerjaan itu saja; Aminu'ddin berdiam pula, akan tetapi adalah juga yang dipikir-pikirkannya.

Bagaimana angan- angan yang memenuhi hatinya, hanya dia saja yang tahu. Langit pun makin lama makin gelap ditutupi awan yang tebal. Hari yang terang itu pun menjadi kelam sebagai waktu matahari terbenam. Guruh pun berbunyilah perlahan-lahan, jauh kedengarannya, antara ada dengan tiada suaranya, akan tetapi makin lama makin keras. Semuanya itu memberi tahu kepada mereka, sebentar lagi awan yang tebal itu hendak kembali kepada asalnya dan hujan yang lebat akan turun menyirami bumi yang kering.

Dengan muka yang riang, se- bagaimana kebiasaannya ia bertanya pula kepada Aminu'ddin, "Sudah tentu angkang penat benar? Sekarang baiklah kita pulang ke rumah. Ditengoknya ke barat, Sibualbuali sudah hampir hilang dipalut awan. Matanya ditujukannya ke timur, Sipipisan pun sudah hilang puncaknya yang bagus itu; bentuknya se- bagai bentuk ranggah ayam jantan, yang berdiri dengan gagahnya. Lekas Riam, baiklah kita berlari ke pondok itu!

Suara hujan pun sudah kedengaran dan kilat yang diiringi guruh yang menderu-deru telah memenuhi lingkungan alam ini. Pada sekejap itu turunlah hujan yang amat lebat, tiada ubahnya seperti air yang dicurahkan dari langit. Syukurlah budak itu keduanya sudah sampai pada pondok yang kecil itu.

Waktu itu belum lewat pukul empat, tetapi kalau dilihat udara yang kelam itu, adalah seperti senja rupanya. Akan sekadar memanaskan badan, karena angin amat kencangnya itu yang menambah kedinginan tubuh mereka itu, Mariamin pun menghidupkan api. Dengan sabar kedua anak yang karib itu duduk berdiang menantikan hujan reda.

Selama mereka duduk, sudah beberapa kali Mariamin memandang muka kakaknya itu, karena heranlah hatinya melihat Aminu'ddin duduk berdiam diri saja dan matanya memandang nyala api yang memanaskan hawa berkeliling tempat itu. Sekalipun matanya menghadap kepada api, tetapi kelihatan pikirannya dalam kebimbangan.

Apa yang dikenang- kannya tiadalah diketahui Mariamin, meskipun sudah beberapa kali ia melihat muka sahabatnya itu dan mencoba-coba mengira-ngira apa yang tergores dalam hati anak muda itu. Adakah yang angkang pikirkan? Aminu'ddin terkejut, barang kali oleh sebab ia terganggu sedang berpikir-pikir itu. Dengan tiada berkata suatu apa, ia memandang kepada Mariamin. Rupanya ia tiada mendengar pertanyaan temannya itu.

Tapi apakah sebabnya angkang berdiam saja? Adakah yang disusahkan? Katakanlah supaya kuketahui! Keinginannya bertambah-tambah, akan tetapi Aminu'ddin tinggal diam saja. Sakitkah angkang? Tapi buluku seram dan hatiku berdebar, tak tahu aku artinya itu. Barangkali mara bahaya yang akan datang, siapa tahu. Tapi janganlah engkau cemas, Allah memeliharakan hamba-Nya," kata Aminu'ddin menghiburkan Mariamin, karena dilihatnya muka anak perempuan itu bertukar menjadi pucat, karena hatinya merasa takut.

Sejurus lamanya mereka itu berdiam diri, hujan makin lebat, menderu-deru bunyinya dan kilat pun sabung-menyabung dituruti halilintar yang seolah-olah membelah bumi bunyinya. Angin pun ber- hembuslah dengan kencangnya, serta berdengung-dengung. Bunyi hujan, angin dan guruh itu amat mendahsyatkan hati keduanya yang berlindung di pondok kecil, di tengah-tengah sawah yang luas itu.

BANJIR Aminu'ddin mengetahui, bahwa Mariamin dalam ketakutan yang tiada tentu, barangkali disebabkan hujan yang amat lebat itu serta melihat kilat dan mendengar guruh yang tiada berhentinya. Lalu ia pun menghiburkan hati Mariamin, supaya sahabatnya itu melupakan barang yang ditakutinya itu.

Anak perempuan itu pun lupalah akan hal keadaan hari yang buruk itu. Dengan tersenyum serta matanya bercahaya, ia pun berkata, "Cobalah angkang ceritakan, betapakah sedapnya mendengarkan dia itu, apalagi pada waktu yang serupa ini. Ia mengumpat-umpat nasib dirinya, karena berlain dengan orang-orang yang di atasnya dan dikatakannya Allah taala itu tak adil. Kayu itu dijualnya ke pasar; uang yang sedikit yang diperolehnya dari harga kayu itu di- belikannya kepada beras dan garam serta apa yang berguna untuk hidupnya.

Dengan bersenang hati serta memuji nama Tuhan, ia pulang ke rumahnya. Demikianlah kehidupan perempuan itu; siang mengambil kayu dan malam tidur dalam rumahnya dengan nyenyaknya. Dekat rumahnya itu diam pula seorang laki-laki tua, pekerjaannya mengambil kayu juga.

Di hutan dan di pasar acap kali kedua orang itu berjumpa. Kalau ia menerima lima puluh sen, laki-laki itu menerima delapan puluh sen, kadang-kadang serupiah. Perempuan itu pun tiada bersenang hati, karena hati yang cemburu sudah acap kali timbul dalam pikirannya.

Orang tua laki-laki itu bekerja tiada akan mencari nafkahnya sendiri, tetapi anak dan bininya harus pula diberinya makan. Oleh sebab itu terpaksalah ia memikul beban yang lebih berat, supaya ia lebih banyak beroleh uang, dan kalau ia tiada kuat, apakah jadinya anak bininya? Meskipun ia beroleh uang serupiah dalam dua had, jauhlah lebih senang kehidupan perempuan tua tadi. Akan tetapi hal itu tiada dipikirkan oleh perempuan tua itu; itulah sebab ia bersungutsungut.

Sekali waktu ia pulang membawa kayu ke rumahnya, ia pun duduklah berhenti, akan melepaskan lelahnya. Dari jauh ia melihat laki-laki tua itu memikul kayu juga, sedang berjalan pulang ke kampung. Benarlah Tuhan tidak adil; apakah sebabnya perempuan kurang kekuatannya daripada laki-laki? Ia terkejut, karena tiada dikenalnya malaikat itu. Mukanya berseri- seri amat elok parasnya. Malaikat itu menghampiri perempuan tua itu, seraya berkata, "Janganlah ketakutan; saya ini Jibrail; saya datang ke mari membawa firman Tuhan.

Tadi engkau menyebut Allah taala tak adil, sebab Ia menjadikan laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Itu pun kalau engkau suka menjadi laki-laki, katakanlah, supaya jangan bersungut-sungut juga di belakang hari, mengatakan Allah taala tidak adil. Tetapi malaikat itu menangkap tangannya, seraya berkata, "Janganlah engkau menyembah aku, Allah saja yang wajib disembah.

Katakanlah, sukakah engkau menjadi laki-laki? Setelah itu maka Jibrail itu pun gaiblah. Perempuan itu berdiri seraya melompat-lompat karena suka-citanya. Ia sudah menjadi laki-laki dan kekuatannya pun sudah jauh bertambah. Berbulan-bulan sudah itu, ia pun belum juga menjadi orang kaya. Hidup sendiri kuranglah sedapnya dipandang mata, karena menurut se- panjang adat, adalah keaiban bagi laki-laki yang tiada beristri itu.

Oleh karena itu ia pun kawinlah. Dua tahun di belakang, lahirlah seorang anaknya. Sekarang barulah ia tahu, betapa beratnya tanggungan bapak yang harus memeliharakan anak dan istri serta keperluan rumah tangganya. Pendapatannya yang sekarang—pada persangkaannya dulu—dulu telah banyak hampir-hampir tak cukup akan dimakan anak- beranak.

Meskipun ia mempergunakan sehabis-habis tenaganya, tetapi amat susah jugalah rasanya akan mencari yang sesuap pagi dan sesuap petang. Kesudahannya ia tiada bersenang hati lagi.

Pada suatu hari pekan, sedang ia menjual kayu di pasar, ia pun terpikir, betapa senangnya kehidupan saudagar-saudagar. Mereka itu menjual kain yang mahal-mahal dan permata yang indah-indah, sedang kerjanya tiada berapa. Di tengah jalan, waktu hendak pulang ke rumah, ia pun berkata sendirinya, "Apakah sebabnya nasib manusia itu beruparupa? Karena apa maka sedemikian ini untungku ditakdirkan Allah? Sehari aku tak pergi ke hutan mencari kayu, sudah tentu kami anak-beranak mati kelaparan.

Pendapatanku amat sedikit; hendak menyimpan uang tak mungkin. Lain benar halnya dengan saudagar-saudagar yang kaya itu. Mereka itu duduk saja sehari-hari, uang datang sendiri; sedikit pun tak ke luar keringatnya.

Aku ini tiada lepas dari panas dan dingin, hujan dan angin, akan tetapi tiada lebih kuperoleh daripada yang cukup dimakan. Kalau aku jadi saudagar yang serupa itu, betapakah senangnya kehidupanku.

Dengan bergirang hati orang itu pun pulanglah ke rumahnya. Azab dan sengsara kisah kehidupan seorang anak gadis First published in Edition Notes Novel. Series Indonesian cultural heritage.

Community Reviews 0 Feedback? Lists containing this Book. Loading Related Books. August 10, Edited by WorkBot. Kasibun harus mengaku bersalah dan merelakan bercerai darinya.

Mariamin merasa bersedih dan ia pulang ke Sipirok rumah ibunya. Badannya kurus dan sakit-sakitan, hingga akhirnya meninggal dunia dengan amat sengsara. Pengarang ingin menceritakan dua orang bersaudara yang menjalin hubungan cinta, namun terhalang oleh adat istiadat setempat dan berakhir sampai salah satunya telah dijemput maut. Anonim 9 Agustus Unknown 13 Agustus Anonim 14 Agustus Tambahkan komentar.

Muat yang lain



0コメント

  • 1000 / 1000